Ambon, ambontoday.com – Enam terdakwa kasus dugaan korupsi anggaran perjalanan dinas pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) tahun 2020 duduk dikursi pesakitan.
Sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, Kamis (12/10) berlangsung di pengadilan Tipidkor pada pengadilan negeri Ambon. Keenam terdakwa masing-masing Yonas Batlayeri, Kepala BPKAD Tahun 2020, Maria Gorety Batlayeri, Sekretaris BPKAD tahun 2020, Yoan Oratmangun, Kabid Perbendaharaan BPKAD Tahun 2020, Liberata Malirmasele Kabid Akuntansi dan Pelaporan BPKAD tahun 2020, Letharius Erwin Layan, Kabid Aset BPKAD tahun 2020 dan Kristina Sermatang,Bendahara BPKAD tahun 2020.
Sidang dipimpin oleh majelis hakim diketuai oleh Harris Tewa didampingi dua hakim anggota lainnya masing-masing Wilson Shuriver dan Antonius Sampe Samine. Sementara para terdakwa didampingi kuasa hukumnya Antony Hatane Cs.
Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejari Tanimbar Stendo B. Sitania dalam dakwaannya menjelaskan, tindak pidana yang dilakukan para terdakwa terjadi pada awal Januari sampai Desember 2020.
Saat itu anggaran perjalanan dinas sebesar Rp 9 miliar lebih dikelola para terdakwa untuk membiayai perjalanan dinas dalam daerah maupun di luar daerah.
Namun, atas perintah pimpinan anggaran itu digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Akibatnya atas perbuatan 6 terdakwa itu negara mengalami kerugian keuangam negara sebesar Rp.6.682.072.402.
Dari nilai kerugian tersebut ternyata ada nama ketua Komis B DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang menerima uang sebesar 450 juta dan beberapa anggota DPRD yang tak disebutkan namanya menerima sejumlah uang dan pihak lainya seperti nikahan anak mantan Bupati KKT yakni Petrus Fatlolon.
“Dimana dijelaskan bahwa saat dilakukan pembahasan APBD Perubahan 2020 di bulan November 2020, terjadi Deadlock belum ada kesepakatan terkait rancangan APBD Perubahan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah, beberapa hari kemudian Saksi Apolonia Laratmase salah satu anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar datang menemui Terdakwa Jonas Batlayeri dikantor BPKAD dan saat itu Saksi Apolonia Laratmase menjelaskan bahwa kapasitas beliau datang sebagai perwakilan Anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar, menyampaikan “jika ingin APBD Perubahan 2020 segera ditetapkan maka beliau meminta untuk menyiapkan uang sejumlah Rp400.000.000 dan saat itu karena dana yang tersedia hanya Rp200.000.000
Terdakwa kemudian menyampaikan kalau permintaannya sebesar itu tidak mampu untuk dipenuhi, akhirnya Saksi Apolonia Laratmase mau dan sepakat dengan Rp200.000.000 tersebut,
selanjutnya Terdakwa berkonsultasi dengan Sekretaris Daerah dan setelah mendapat persetujuan untuk menyerahkan dana tersebut, kemudian Terdakwa mengarahkan Sekretaris untuk menyerahkan uang Rp200.000.000 tersebut kepada Saksi Apolonia Laratmase dan penyerahan uang tersebut dilakukan kediamanan Saksi Apolonia Laratmase di Desa Olilit Saumlaki
Kemudian sekitar bulan Desember 2020, saat itu terjadi Deadlock / belum ada kesepakatan terkait rancangan APBD Induk 2021 yang diajukan oleh Pemerintah Daerah KKT, beberapa hari kemudian Saksi Apolonia Laratmase datang menemui Terdakwa kembali dikantor BPKAD dan saat itu Saksi Apolonia Laratmase menjelaskan bahwa kapasitas beliau datang sebagai perwakilan Anggota DPRD KKT, saat itu beliau menyampaikan kembali “jika ingin APBD Induk 2021 segera ditetapkan maka beliau meminta untuk menyiapkan uang sejumlah Rp250.000.000 dan atas permintaan tersebut Terdakwa menyetujuinya, selanjutnya Terdakwa mengarahkan Sekretaris yakni Maria Gorety Batlayeri untuk menyerahkan uang Rp250.000.000 tersebut kepada Saksi Apolonia Laratmase dan penyerahan uang tersebut dilakukan kediaman Saksi Apolonia Laratmase di Desa Olilit Saumlaki.
Uang sejumlah Rp450.000.000 tersebut seluruhnya diambil dari anggaran kegiatan perjalanan dinas pada BPKAD Tahun Anggaran 2020 yang bersumber dari anggaran perjalanan dinas yang dikelola oleh Sekretaris dan masing-masing bidang yang dalam teknis pengumpulannya dikooridinir langsung oleh Saksi Maria Goretty selaku Sekretaris dan Saksi Kristina Sermatang selaku Bendahara Pengeluaran berdasarkan arahan Terdakwa selaku Kepala Badan.
Selain itu sebagian Anggota DPRD yang tak disebutkan nama nama mereka juga menerima sejumlah uang sekitar 195 juta dan pihak lainya yakni untuk nikahan anak bupati sebesar 160 juta sekian.
Terhadap hal itu, JPU menjerat para terdakwa dengan dakwaan primer, pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Serta dakwaan subsider, Pasal 3 Jo. Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Usai membacakan dakwaan hakim ketua dengan tegas dan lantang meminta para terdakwa agar buka-bukaan menyangkut soal aliran dana kepada pihak-pihak yang diduga terlibat dalam menikmati anggaran tersebut.
“Saya ingatkan kepada para terdakwa ya, kalian harus buka-bukaan. Ada anggota DPRD terima Rp 200 juta ya. Saya minta kalian harus buka di sini, kalau tidak kalian salah orang. Saya ingatkan itu. Kalian ini sudah tergelincir sebenarnya. Tapi tidak apa-apa, buka saja lah. Mau bupati terima atau sapa terima uang, buka saja, kalau kalian tidak buka kalian salah orang,” tandas ketua majelis hakim.
Usai mendengarkan dakwaan JPU, majelis hakim kemudian menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda eksepsi/keberatan dakwaan JPU dari kuasa hukum terdakwa. (AT/tim)