Ambontoday.com, Ambon.- Aksi Demo yang dilakukan organisasi Maluku 1 Rasa Salam SaraneĀ Bersatu (M1R SSB) di Jakarta dengan tuntutan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Pemprov Maluku yang dituduh telah melakukan tindakan korupsi terkait pembayaran ganti rugi lahan RSUD Haulussy Ambon, mendapat tanggapan dari ahli waris sah Jozias Alfons pemilik Dati Kudamati tempat bangunan RSUD Haulussy berdiri, Evans Reynold Alfons.
Menurut Evans, dirinya sangat terkejut dengan aksi demo yang dilakukan M1R SSB dengan mengatasnamakan saudara Yohanes Tisera alias Buke Tisera selaku ahli waris yang wajib menerima ganti rugi RSUD.
Dirinya menilai apa yang dilakukan Buke Tisera lewat aksi demo di Jakarta sama dengan ‘Maling Teriak Maling’.
“Apakah Yohanes Tisera ini tidak paham bahwa proses pembayaran yang dilakukan oleh Pemda Maluku kepada dirinya sudah sebanyak tiga kali pembayaran, tahap 1 itu dilakukan tanggal 19 Februari 2019 itu sejumlah 10 miliar dan saat itu yang melakukan pembayaran itu penjabat kepala daerah Maluku lewat instruksi dari mantan gubernur Maluku Said Assagaf sejumlah 10 miliar. Tahap 2 itu dibayar 3 miliar yang dilakukan pada tahun 2020, dan tahun 2021 itu dibayar 5 miliar 329 juta itu tahap 3 jadi total pembayaran kepada yohanessera itu 18 miliar 329 juta.
Nah hal ini kan aneh kalau seumpamanya Buke Tisera menuduh pemerintah daerah Maluku telah melakukan korupsi. Yang saya mau tanya, korupsi yang dilakukan pemerintah daerah untuk kasih kaya siapa? kan uangnya dinikmati oleh Buke juga, jadi yang salah siapa,? ini namanya maling teriak maling,” jelas Evans.
“Dia (Buke Tisera), kan yang menikmati hasil uang korupsi dengan dasar putusan yang menurut saya putusan yang tidak bisa dieksekusi yakni putusan nomor 38 junto keputusan nomor 18 junto 3485 Kasasi dan junto perkara 512 PK dimana sifat dari keputusan itu adalah putusan declaratoir boleh ditanya ke pengadilan apakah putusan deklaratoir itu dapat dilakukan eksekusi, kan tidak.
Berarti pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah benar dapat digolongkan itu tindak pidana korupsi tapi korupsinya ke mana? apakah memperkaya pemerintah daerah? kan tidak, tapi ini memperkaya pribadi Buke Tisera,” beber Alfons.
Evans meminta pihak legislatif dalam hal ini DPRD Maluku dapat menyikapi persoalan ini, karena pembayaran itu menggunakan uang negara yang wajib dipertanggungjawabkan.
“Bagi saya masalah ini kalau diikuti dan di usut oleh KPK ini sangat bagus supaya jelas, pembayaran 18 miliar itu wajib dipertanggungjawabkan oleh Yohanes Tisera bukan oleh pemerintah daerah.
Memang kita melihat bahwa itu kesalahan pemerintah Daerah yang tanpa ada perintah eksekusi dari pengadilan melakukan pembayaran kepada pihak yang salah.
Kalau kesepakatan yang terjadi di notaris ini kan aneh, dalam perkara 62 pihak yang kalah itu Yohanes Tisera, Julianus Watimena, Pertanahan Kota Ambon, Rosdiana Nahumarury, Toni Kusdianto.
Ingat bahwa dalam amar putusan perkara 62 menyatakan bahwa surat tanggal 28 Desember 1976 yang digunakan Buke Tisera adalah surat yang cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Lalu atas dasar apa Buke dapat menikmati ganti rugi itu, padahal dasar kepemilikan dia sudah dinyatakan cacat hukum dan putusannya sudah berkekuatan hukum tetap,” ungkapnya.
Evans menyesalkan apa yang sudah dilakukan oleh Pemda Maluku yang telah melakukan pembayaran padahal sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap tahun 2018, namun tahun 2020 tetap mau melakukan pembayaran kepada Tisera yang adalah pihak yang kalah pada perkara 62 dengan menggunakan bukti surat 28Ā Desember 1976 yang sudah dinyatakan cacat hukum oleh pengadilan.
Menurutnya, uang yang sudah dinikmati Tisera adalah adalah negara dan wajib dipertanggungjawabkan dan masalah ini harus segera ditangani oleh KPK dan pertanggung jawabannya kepada Tisera bukan kepada Pemda
“Memang kita melihat kalau itu kesalahan pemerintah Daerah,Ā yang tanpa ada perintah eksekusi dari pengadilan melakukan pembayaran kepada pihak yang salah,āujarnya.
Pasalnya kesepakatan yang terjadi di notaris Rostiaty Nahumarury sangat aneh, karena Rostiati Nahumarury adalah pihak yang kalah pada perkara 62,” kata Alfons.
Ia menambahkan,Ā Dati Kudamati di mana didirikan Rumah sakit RSU itu sudah dibangun dari tahun 1948 dan baru diresmikan tahun 1954, sedangkan Yohanes Tisera ini baru menerima surat yang cacat hukum tersebut yang menyatakan bahwa dia selaku ahli waris dari Hein Johanis Tisera baru tanggal 28 Desember 1976, nah rentan waktunya kan cukup jauh. Selain itu, bangunan RSUD ini kan berada di Dati Kudamati, sedangkan menurut surat Buke Tisera yang cacat hukum itu, bangunan RSUD berada di Dati Pohon Ketapang, ini kan janggal.
“Sejak di dirikan masyarakat sering menyebutnya dengan Rumah Sakit Kudamati, karena memang bangunan itu berada di atas Dati Kudamati, bukan Dati Pohon Ketapang.
Nanti di masa kepemimpinan Gubernur Maluku Akib Latuconsina, barulah nama Rumah Sakit diganti dengan nama RSUD dr.Haulussy,” jelas Evans.
Ia menambahkan,Ā bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah provinsi terhadap Yohanes Tisera adalah hal yang salah walaupun keluarga AlfonsĀ sudah berulang kali mengingatkan jangan sampai nanti suatu saat semua akan bertanggung jawab terkait dengan pembayaran ini.
“Saya sangat support apabila KPK secara independen melakukan pemeriksaan terhadap hal ini,Ā tetapi pemeriksaannya harus detail,Ā bahkan kalau terdapat ada yang cacat tukum segera diproses,” ungkapnya.
Diketahui, Demonstrasi OrganisasiĀ Maluku Satu Rasa, Salam Sarani Bersatu (M1R-SSB) yang diduga ditunggangi Yohanis (Buke) Tisera di Jakarta, Senin (11/12/2023).
Aksi yang digelar Senin itu, Kuasa Hukum dari Tisera yang menyatakan diri sebagai Ahli Waris mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di jalan Kuningan PersadaĀ No.KavĀ 4,Rt 1 Rw 6 Guntur, Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan untuk meminta agar KPK segera untuk turun langsung memeriksa oknum pejabat Pemprov Maluku yang diduga melakukan tindak pidana korupsiĀ terkait pembayaran RSUD Haulussy.