Demokrasi yang Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Oleh
Elroy. M.D Aulele, SH
(Advokat)
Masohi, ambontoday.com – Republik hari-hari ini, ada yang mengaku memperjuangkan demokrasi namun menyebarkan kebohongan, kebencian, intimidasi dan diskriminasi. Ada yang dewasa menerapkan nilai-nilai demokrasi di ruang publik namun melakukan transaksi kekuasaan secara personal dalam ruang tertutup. Ada yang berkomitmen melakukan tukar tambah kekuasaan atas dasar kalkulasi ideologis namun diam-diam berbalik arah semata-mata karena oportunisme individual.
Fenomena buruk ini menyakinkan kita semua, bahwa sesungguhnya mereka sedang memamerkan kebodohan dengan rasa bangga. Entah, sampai kapan kita bisa move on dari praktik demokrasi seperti ini. Meskipun Fuady (2010) mencatat demokrasi adalah pilihan satu-satunya yang terbaik bagi kehidupan dan kelangsungan suatu bangsa dan negara di dunia ini. Namun, praktik demokrasi di republik hari-hari ini tidak serta merta berubah menjadi benar-benar demokratis.
Memang benar kata Yudi Latif (2015) bahwa demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan nasionalisme kewargaan (civic nationalism) justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme).
Demokrasi yang semestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan, dan daulat rakyat justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan, dan ketidakberdayaan rakyat. Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadobsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara saksama dengan kondisi sosial-ekonomi segenap kewargaan Indonesia justru dapat melemahkan demokrasi.
Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan, pilihan desain demokrasi kita justru sering kali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Demokrasi tak lagi menjadi sarana afektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana afektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res publica (urusan umum) tunduk di bawah kendali res privata (urusan privat).
Mungkin pembaca merasa hal ini berlebihan, dibesar-besarkan, dan tendensius. Namun saya menyakini, potret demokrasi dalam republik hari-hari ini masih terlihat menjengkelkan, karena praktiknya masih dipenuhi keributan dan pertengkaran. Lantas, demokrasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa kapan diwujudnyatakan?
Usaha Bersama
Demokrasi yang mencerdasarkan kehidupan bangsa hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Namun, perlu dicatat bahwa demokrasi yang diciptakan oleh manusia bukanlah sistem yang sempurna, karena kesempurnaan hanya ada di surga.
Apapun yang terjadi Indonesia harus percaya demokrasi yang dipraktikkan dengan berbagai variasi. Demokrasi adalah ruang terbuka yang hidup dan hidupkan oleh seluruh rakyat. Dan itu membutuhkan usaha anda, ikhtiar saya, dan usaha kita semua melalui tiga tindakan.
Pertama, merawat demokrasi dengan cara tidak menggunakan hak berbicara untuk menghujat sesama, tidak menggunakan kebebasan untuk mengeruh keuntungan, tidak menggunakan hak berserikat untuk menggilas yang berbeda, tidak menggunakan politik sebagai ruang untuk membuat keributan dan pertengkaran.
Dalam Jurnal Wacana: Edisi 18, Tahun VI 2004 dijelaskan, demokrasi telah memberi kontribusi yang besar dalam memberikan kemerdekaan bagi umat manusia untuk berbeda pendapat, menyatakan kepentingannya, membentuk kelompoknya, mengaspirasikan hasrat kekuasaannya dengan tujuan mencegah terjadinya dominasi atau kelompok terhadap kelompok lain.
Kedua, menjadikan demokrasi sebagai wahana menjaga semua kepentingan. Kepentingan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa hanya bisa dilakukan dalam alam demokrasi yang sehat. Untuk itu rakyat mesti bergotongroyong dengan lembaga KPU, Bawaslu, Polri, dan lembaga terkait untuk mengawal jalanya proses demokrasi di tanah air.
Tahun 2019 sudah di depan mata, Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi secara besar-besaran. Rakyat bersama para pemangku kebijakan pemilu mesti bergerak untuk menciptakan pemilu yang lebih baik. Jangan sampai ada upaya menggalang permusuhan. Jangan mengadu domba satu pihak dengan pihak lain, suatu kelompok politik dengan kelompok politik lain. Agar kita tak pecah, tak saling serang, dan tak terlibat konflik.
Jika pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil niscaya republik ada aman dan damai. Pemimpin yang dihasilkan pun akan berjiwa negarawan, yang akan tampil cepat, dekat, dan merakyat. Perlu diingat, pemilu dimaksudkan bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi mencegah yang terburuk berkuasa. Jangan sampai ada yang memilih golput, karena nasib bangsa lima tahun kedepan ditentukan dalam sehari di TPS.
Ketiga, memanfaatkan demokrasi sebagai kesempatan terbaik untuk merawat hidup bersama, membangun peradaban bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan demikian, isu SARA, hoaks, dan kampanye hitam yang menjadi virus demokrasi wajib ditolak mentah-mentah. Jangan lupa pada sistem demokrasi kita yang selalu membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi dan partisipasi rakyat demi menghadirkan perbaikan.
Perjalanan demokrasi bangsa masih sangat panjang, cita-cita demokrasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa masih terus diperjuangkan. Kemampuan mengambil hikmah dan kebijaksanaan dari peristiwa demokrasi yang dialami adalah wujud kesadaran kemanusiaan yang penting. Berkat kesadaran untuk belajar dari pengalaman berdemokrasi, seseorang bukan hanya terhindar dari jebakan lubang yang sama, tetapi juga bisa menilai seberapa kemajuan telah dicapai. (AT – 007)