Saumlaki, ambontoday.com _ Sidang lanjutan gugatan praperadilan oleh bekas bupati Kepulauan Tanimbar Petrus Fatlolon, yang menyandang status tersangka korupsi, kembali dilanjutkan hari ini, Kamis (25/7/2024) di ruang sidang utama, Pengadilan Negeri (PN) Saumlaki, yang dipimpin oleh Harya Siregar, selaku hakim tunggal.
Dimana agenda sidang praperadilan yang menjadi upaya terakhir Petrus Fatlolon dalam menghalangi Penyidikan (Secara Legal) dalam Tindak Pidana Korupsi, terpusat pada penambahan barang bukti dan pemeriksaan saksi-saksi baik dari pemohon (PF) dan termohon (Kejari).
Saksi Ahli yang dihadirkan oleh pihak pemohon (PF) yakni Prof.Dr. Salmon Nirahua, SH, M.Hum, yang merupakan ahli dalam Hukum Administrasi, ternyata kian melemahkan peluang Petrus Fatlolon tuk memenangkan gugatan praperadilan yang dilayangkan atas status tersangka yang kini disandang Bung Pice ini.
Pasalnya, ketika dicercah Hakim Siregar, tentang berapa persen saksi ahli menguasai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pertanyaan tersebut dilontarkan Hakim, lantaran sejak awal memberikan keterangan, saksi ahli selalu berpatokan pada KUHP.
“Saya hanya menguasai secara prinsip tetapi tidak menyeluruh,” ucap saksi.
Pengakuan jujur saksi ahli ini, mendapat etensi Hakim. Yang akhirnya, mencoba menggalih lebih jauh lagi tentang pemahaman saksi ahli sehubungan dengan perkara yang sementara disidangkan ini. Dimana Hakim mengatakan kalau dalam KUHP menjelaskan tentang proses penegakan hukum itu melibatkan tiga instansi yakni Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di KUHP juga menjelaskan kalau dalam proses penyelidikan dan penyidikan itu oleh kepolisian dan penuntutan itu oleh Jaksa Penuntut Umum (Kejaksaan). Tetapi kalau untuk tindak pidana korupsi, penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan itu ada di JPU. Sehingga baik ketiganya ada pada instansi yang sama yakni kejaksaan.
“Apakah bisa memungkinkan kalau proses administrasinya digabung, agar proses adminitrasi lebih fleksibel karena hanya libatkan internal satu instansi. Beda halnya dengan melibatkan dua instansi. Bisakah dimungkinkan untuk lebih fleksibel?” tanya Hakim kepada saksi ahli yang mengatakan bahwa jika administrasinya digabung maka akan semakin mempercepat proses penanganan kasus.
Hakim Siregar pun kemudian melanjutkan dengan mempertanyakan pemahaman saksi ahli mengenai filosofi terbentuknya Undang-Undang (UU) Tipikor, apa urgensinya dan mengapa UU Tipikor ini ada, khusunya dalam pemberantasan Tipikor. Sayangnya, saksi ahli tidak dapat menjelaskan substansi pertanyaan hakim tersebut. Namun saksi ahli lebih menanggapinya dengan menyebutkan bahwa filosofi bisa dilihat pada konsideran ‘Menimbang’ kenapa undang-undang ini harus dilahirkan.
“Kalau dalam pemberantasan Tipikor itu masuk dalam kategori biasa atau luar biasa?” Kembali Hakim mencercah saksi ahli yang akhirnya mengakui bahwa Tipikor masuk dalam kategori luar biasa selain terorisme.
Pertanyaan Hakim Siregar yang kian mengerucut kepada saksi ahli. Dimana untuk menegakan keadilan, termohon (Kejari) inggin memberantas Tipikor yang merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, apakah bisa dispensasi atau dimaklumkan beberapa tindakan adminitrasinya yang tidak berakibat fatal, khsususya tidak akibatkan kerugian bagi orang lain.
“Menurut ahli bisa tidak dengan tipe kejahatan yang luar biasa ini masalah adminitrasi itu dikesampingkan?” Tanya Hakim, yang dijawab oleh saksi ahli bahwa harus kembali pada asas legalitas.
Terus kalau dalam tindak pidana korupsi, korbannya siapa? Kejar Hakim dan kembali diterangkan saksi ahli bahwa kembali pada sistem pemeriksaan APBN dan APBD atau korbannya adalah negara jika berkaitan dengan APBN dan daerah jika korupsi terjadi pada APBD. Jawaban dari ahli yang kian terkesan “beretorika” ini, kembali dikejar Hakim dengan pertanyaan mengenai tipe-tipe laporan polisi apa saja yang diketahui saksi ahli, mengingat tidak tertuang dalam KUHP.
“Saya tidak tahu,” singkat saksi ahli.
ILUSTRASI HAKIM
Akhirnya Hakim menceritakan ilustrasi tentang suatu kasus Tipikor. Dimana diawali dengan adanya pelaporan dugaan korupsi yang terjadi pada satu dinas, sebut saja Dinas PU. Yang mana, ada proyek pembangunan jembatan, yang menurut hemat warga yang melihat maupun memahami tentang konstruksi bangunan sebuah jembatan melihat adanya dugaan korupsi. Kemudian masyarakat ini mendatangi kejaksaan tuk memasukan laporan kasusnya.
“Pak jaksa tolong periksa pembangunan jembatan ini, menurut kami ada indikasi korupsi. Nah dari laporan awal itu, kejaksaan kan tidak serta merta langsung menetapkan seorang tersangka kan. Maka kejaksaan mulai dengan penyelidikan. Saat laporan masuk, belum ada terlapornya neh, dikembangkan oleh penyidik tentang dugaan siapa yang terlibat dalam proyek pembangunan jembatan ini. Jembatan ini telan anggaran Rp500. juta. Dan oleh kejaksaan mulai memeriksa saksi yang terlibat dalam proyek ini yakni Pokja, PPK, kontraktor dan lainnya. Ternyata penyidik mendapat 2 orang dengan kerugian negara capai Rp200 juta. Sayangnya dalam perjalanan, kedua terdakwa it hanya bisa bertanggungjawab Rp100 juta. Berarti tersisa Rp100 juta lagi dan negara dirugikan, kira-kira menurut ahli, wajib tidak hal ini diusut kejaksaan?” Ujar Hakim
Mendengar ilustrasi dari Hakim dan mendapat pertanyaan apakah hal itu patut di usut kejaksaan, membuat saksi ahli makin melenceng jawabannya. Dimana saksi ahli menegaskan bahwa untuk kembali pada mekanisme untuk mengetahui adanya kerugian negara atau tidak.
“Saya tadi sudah katakan bahwa harus ada rekomendasi BPK dan rekomendasi BPK ditujukan kepada kepala daerah/bupati bahwa penyedia dalam proyek jembatan ini harus lakukan pemgembalian. Dari BPK kirim ke pimpinan daerah dan bisa juga DPR,” terang saksi ahli kepada Hakim yang kembali mempertegas pertanyaannya kepada saksi bahwa kejaksaan sudah bekerja tuk ungkap dugaan Tipikor tetapi mengapa hasil perhitungan Kerugian negara oleh BPK ini dikirim ke bupati dan bukan ke kejaksaan.
“Menurut saya, itukan pemeriksaan rutin. Jika kejaksaan temukan indikasi korupsi, maka kejaksaan tidak harus minta perhitungan dari BPK. Kalau masyarakat melapor, kan bukan berarti telah terjadi kerugian dan siapa yang harus bertanggungjawab,” ulas saksi panjang lebar. Yang akhirnya ditanggapi Hakim bahwa yang dimaksudkan audit rutin BPK adalah opini WTP, WDP, Disclaimer itu ya.
Mendapat jawaban dari saksi ahli yang dihadirkan tersebut kian jauh dari substansi pertanyaannya, Hakim Siregar kembali bertanya, apakah warga negara tidak berhak melaporkan indikasi korupsi? Dan saksi berkata, boleh saja tetapi menurut pendapatnya, masyrakat bukan korban dari dugaan korupsi itu.
Hakim Siregar, akhirnya mengakhiri sidang hari ini dan akan dilanjutkan besok dengan agenda penyerahan kesimpulan dari pemohon serta termohon, Jumat 26 Juli 2025 pukul 15.00 WIT, dengan ketukan palu sidang. (AT/tim)