AMBON,- Ambontoday.com – Mencermati persoalan hukum yang dituduhkan kepada Fery Tanaya dalam proyek PLMG 10 MW di Pulau Buru telah membuat banyak pihak kebingungan dan malah menjadi bahan tertawaan termasuk bagi salah satu Praktisi Hukum Alvian Lekatompessy, SH.
Lekatompessy menyampaikan, propaganda pihak Kejati Maluku melalui media masa secara berjilid sejak tahun 2017 – 2020 bahwa terjadi korupsi ( mark up ) harga tanah sudah terjawab saat sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Ambon beberapa waktu lalu.
“Fakta persidangan ternyata harga ganti rugi tanah yang diterima Fery Tanaya sama dengan pemilik lahan lainnya yaitu Rp. 125.000 / M2, dan anehnya pihak Kejati Maluku sendiri turut serta dalam sosialisasi bagi pemilik lahan lainnya agar dapat menerima harga ganti rugi yang telah ditetapkan yaitu Rp. 125.000/M2 tapi kemudian pihak Kejati menyatakan ada dugaan mark up. Sungguh aneh. Dengan kenyataan ini saja tentu kepercayaan masyarakat Maluku terhadap Institusi Kejaksaan Tinggi Maluku yang selama ini sangat diharapkan sebagai salah satu pilar penegakan hukum di daerah Maluku telah hilang dan dapat dikatakan Korps Adhiyaksa Maluku hilang kepercayaan Total Lost,” tutur Lekatompessy.
Setelah dugaan mark up dirasa tidak mengena, sambungnya, pihak Kejati Maluku menggunakan isu baru, yaitu telah terjadi salah bayar. Bahwa seakan – akan tanah yang dibebaskan pihak PLN tersebut bukan milik Fery Tanaya tetapi milik pihak lain. Tuduhan ini dipakai berdasarkan dokumen yang disita pihak Kejati Maluku dari pihak BPN Buru terdapat Nomor Induk Bidang ( NIB ) yang adalah NIB lahan orang lain pada hal sudah dijelaskan oleh pihak BPN Buru bahwa form yang dipakai oleh petugas BPN pada saat pengukuran adalah form copy paste yang NIB-nya belum dihapus ( ini hanya masalah teknis adminsitrasi ) yang semestinya tidak perlu dipermasalahkan karena sudah diklarifikasi juga oleh pihak BPN dan ternyata skenario ini tidak mengena juga, karena saat peninjauan lokasi ternyata tanah yang dibebaskan pihak PLN tersebut adalah milik Fery Tanaya.
“Karena faktanya pihak BPN saat diminta oleh pihak PLN untuk melakukan pengukuran, saat itu pihak PLN telah menempatkan patok pada lokasi yang dibebaskan yang adalah milik Fery Tanaya. Sedangkan lahan/tanah yang NIB-nya dipersoalkan tersebut letaknya jauh dari tanah milik Fery Tanaya yang dibebaskan pihak PLN. Gagal lagi skenario kedua yang dipakai pihak Kejati Maluku,” bebernya.
Menurutnya, dari kedua alasan tersebut saja sudah bisa disimpulkan bahwa memang pihak Kejati Maluku sedang mencari – cari peluru untuk menembak Fery Tanaya. Apakah begini caranya penegakan hukum yang diterapkan oleh suatu institusi penegak hukum dengan cara mencari – cari kesalahan orang ?
Setelah skenario kedua gagal, muncul lagi isu baru dugaan tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepada Fery Tanaya karena Fery Tanaya menjual tanah milik negara.
“Semakin menyedihkan !! Fery Tanaya membeli tanah tersebut dari ahli waris Zadrach Wacanno pada tahun 1985 melalui Akta Jual Beli yang dibuat oleh Camat Namlea yabg sekaligus sebagai PPAT. Zadrach Wacanno sendiri membeli tanah tersebut dari Pemerintah Belanda pada tahun 1932 melalui Akta Nomor 19 tertanggal 9 April 1932,” ujarnya.
Dia juga mengatakan, menurut Kejati Maluku Roro Zega bahwa hak erfpag tidak bisa dipindah tangankan baik kepada ahli waris atau pihak lain bahwa setelah pemegang hak meninggal maka selesai sudah hak atas tanah itu dan dikembalikan haknya ke negara. Ini entah Kajati menggunakan UU yang mana, jangan sampai dasar hukum yang dipakai ini hanya karena Fery Tanaya membeli dari ahli waris Zadrach Wacanno .
” Jurus yang dipakai Kajati Maluku untuk memuluskan propagandanya, telah mengenyampingkan bukti yuridis milik Fery Tanaya berupa Akta Jual Beli serta bukti – bukti pendukung lainnya serta bukti penguasaan fisik sejak tahun 1985 ( 35 tahun ). Kajati mengartikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara sama dengan tanah milik negara / asset negara sehingga Kajati langsung merubah stataus tanah / kebun milik Fery Tanaya menjadi tanah milik negara / asset negara untuk memperkuat, alasannya bahwa Fery Tanaya telah menjual tanah negara dan kemudian meminta pihak BPKP untuk menghitung kerugian negara yang menurut BPKP telah terjadi kerugian negara total lost. Memang luar biasa rapih cara kerja para sutradara di Kejati Maluku !!,” tegasnya.
Ditambahkan, dirinya tidak ingin masuk ke substansi hukum yang lebih dalam tetapi yang harus dipahami , negara memberikan kewenangan kepada institusi Pengadilan dan PTUN untuk membatalkan bukti juridis yang diterbitkan oleh pejabat negara yaitu PPAT dan bukan kepada institusi Kejaksaan, apalagi dibatalkan hanya dalam acara konfrensi pers saat menahan Fery Tanaya hanya Kajati lupamengetok palu setelah selesai penjelasannya. Kajati secara sepihak langsung menyatakan bahwa AJB Fery Tanaya yang dibuat oleh PPAT batal secara hukum dan langusng menjadikan tanah kebun Fery Tanaya menjadi tanah milik negara / aset negara.
“Sedangkan yang saya pahami tanah milik negara / aset negara wajib memiliki sertifikat yang dikeluarkan BPN atas nama Pemerintah Republik Indonedia cq instansi mana dan harus sudah tercatat sebagai aset negara. Namun yang terjadi dalam kasus korupsi PLTMG ini Kajati telah mengambil alih kewenangan institusi Pengadilan dan BPN atau mungkin Kajati Maluku Rorogo Zega telah membuat nomenklatur baru di Maluku yaitu Kejaksaan – Pengadilan – BPN ,” teranngnya
Terkait pernyataan Kajati Maluku membatalkan AJB milik Fery Tanaya karena yang menjual adalah warisnya setelah pemilik meninggal sesuai penjelasan Kajati saat konfrensi pers, hal ini harus diwaspadai dan dipertanyakan oleh seluruh masyarakat Maluku yang memiliki warisan pendahulunya yang berstatus bekas erfpag. Karena menurut Kajati Maluku Hak Erfpag tidak dapat diwariskan.
“Pertanyaan sederhana ; bagai mana bila orang tua kami memiliki lahan bekas hak erfpag yang diatasnya terdapat tanaman umur panjang. Apakah setelah orang tua kami meninggal tanah beserta tanaman tersebut langsung menjadi milik negara dan kami tidak bisa lagi memanfaatkannya ?. Setahu saya masih banyak kebun-kebun bekas erfpack di Pulau Buru dan Seram yang masih dimiliki / dikuasai oleh ahli warisnya, termasuk ahli waris yang telah menerima ganti rugi dari pemerintah karena tanahnya dipakai untuk pembangunan proyek pemerintah sejak lama sebelum datangnya Kajati Maluku Rorogo Zega. Awalnya mereka sangat resah karena takut bernasib sama seperti pengusaha Fery Tanaya, tetapi setelah semua masyarakat melihat fakta akhirnya menjadi lega karena mereka beruntung bukan pengusaha sehingga tidak ada gunanya Kejati Maluku membidik mereka. Salah satu contoh yang saya ketahui dalam proses ganti rugi lahan untuk Proyek PLTMG 10 MW tersebut, Sdr. Said Bin Thalib juga menerima ganti rugi dengan harga yang sama dengan yang diterima Fery Tanaya, pada hal tanahnya juga bekas erfpag yang dibeli leluhurnya jauh sebelum Indonesia merdeka yaitu pada tahun 1928, dan punyanya Sain Bin Thalib justru pihak Kejaksaaan Tinggi Maluku yang diwakili Jaksa Agus Sirait yang melakukan verifikasi dan terlibat dalam proses pembayarannya. Dengan melihat kenyataan yang ada saya khawatir masyarakat Maluku akan berkata bahwa kalau penerima ganti rugi bukan pengusaha Fery Tanaya maka Proyek PLTMG tersebut pasti sudah dapat dinikmati oleh masyarakat Pulau Buru dan penderitaan masyarakat di Pulau Buru akibat kekurangan listrik sudah teratasi,” katanya.
Dirinya berharap Kajati Maluku Roro Zega dapat menjelaskan secara terperinci dasar hukum yang dipakainya bahwa hak atas lahan bekas erfpag berakhir setelah pemilik meninggal dan sekaligus lahan tersebut menjadi tanah milik negara / aset negara, hal ini maksudnya agar tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat Maluku. Kasihan masyarakat pak Kajati !! masyarakat sangat mendukung penegakan hukum apalagi yang berkaitan dengan KORUPSI tetapi janganlah orang yang bukan koruptor dipaksakan untuk berstatus sebagai koruptor hanya karena yang bersangkutan punya nama besar atau karena ada pesanan !!!
‘Saya khawatir masyarakat akan menjastifikasi bahwa ini yang disebut ; PELANGGARAN HUKUM YANG DILAKUKAN PENEGAK HUKUM DENGAN MENGGUNAKAN HUKUM,” pungkasnya. (AT-009)