Ambontoday.com, Ambon.– Ombudsman RI Perwakilan Maluku didesak untuk menindaklanjuti rekomendasinya yang sudah sekian lama dikeluarkan namun diabaikan begitu saja oleh Kakanwil ATR/BPN Provinsi Maluku dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon.
Tindaklanjut itu harusnya dilakukan dengan menerbitkan sebuah rekomendasi baru yang isinya lebih tegas berisi pemberian sangsi sesuai dengan ketentuan yang telah diatur sebelum ini dalam UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik.
Ini sekaligus agar secara efektif bisa menimbulkan efek jera, sehingga ke depan nanti jangan lagi ada pejabat publik yang berani melalaikan sesuatu rekomendasi Ombudsman RI di kemudian hari, apalagi yang inhaerent dengan kepentingan publik.
Hal tersebut disampaikan Ketua DPD Pejuang Siliwangi (DPD PS) Maluku, Lutfi Attamimi kepada wartawan dikantornya, Selasa (25/4).
Atamimi mengaku merasa geram hingga terpaksa mengemukakan desakan ini berhubung sikap Kakanwil ATR/BPN Maluku serta Kepala Kantor Pertanahan Kota yang sudah sekian lama direkomendasikan oleh Ombudsman agar menerbitkan keputusan pembatalan atas hak milik atas tanah No. 158 dan No. 649 di kawasan Tanah Rata namun hingga sekarang sudah lampau 1 (satu) tahun rekomendasi itu diabaikan seakan-akan tidak ada kewajiban padanya untuk mematuhi rekomendasi. “Ombudsman sebagai Lembaga pelat merah di negeri ini yang memiliki kompetensi absolut dalam mengawasi pelayanan publik oleh pejabat-pejabat publik.
Saya selaku Ketua DPD Pejuang Siliwangi Maluku mengungkapkan desakan ini sebagai wujud partisipasi publik dalam rangka perbaikan mutu pelayanan publik sekaligus menjaga marwah institusi Ombudsman di mata masyarakat.
Dasarnya adalah pasal 23 ayat (1) UU Ombudsman RI No. 37 tahun 2008 dan pasal 18 huruf g UU Pelayanan Publik No. 25 tahun 2009.
Sebab ada rekomendasi Ombudsman untuk memperbaiki tindakan maladministrasi yang terjadi sebelum ini namun sengaja diabaikan oleh kedua pejabat yang justru adalah pejabat publik padahal menurut undang-undang wajib dipatuhi,” ungkap Attamimi.
Dikatakan, hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlangsung seakan-akan bukan suatu kesalahan, sebab berpotensi merusak kualitas pelayanan publik di kemudian hari.
Sejak beberapa tahun lalu, Ombudsman RI Perwakilan Maluku sudah menerbitkan sebuah rekomendasi yang ditujukan bagi Kakanwil ATR/BPN Maluku dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon agar membatalkan Hak Milik atas tanah sesuai SHM No. 158 yang tercatat atas nama Saceny Soemeru beserta pecahannya antara lain SHM No. 679 yang tercatat atas nama Vivi Tan Pabula.
Pijakan yuridis dari rekomendasi pembatalan ke-2 SHM itu sangat rasional sebab merujuk pada norma UU No. 1 tahun 1958 dan aturan pelaksanaannya yang diatur dalam PP 18 tahun 1958.
Sebab tanah HM No. 158 diterbitkan berdasarkan surat keputusan Gubernur Maluku yang saat itu dijabat oleh Brigjen Soemeru dan diberikan kepada isterinya Saceny Soemeru, kemudian dari SHM No. 158 ini baru terjadi pemisahan dengan menerbitkan hak milik No. 649.
“Padahal secara normatif bilamana benar ex Eigendom Verponding merupakan tanah negara maka sesuai PP No. 224 tahun 1961 penerbitan hak milik harus dialamatkan kepada para Petani atau bekas Penggarap.
Penerbitan hak milik oleh Gubernur Soemeru kepada isterinya sendiri Saceni, itu berarti dengan sendirinya batal karena mengandung cacat administrasi berupa kesalahan subyek penerima hak milik,” paparnya.
Anehnya, kata Attamimi, regulasi perundang-undangan yang mengatur pembatalan atas sesuatu hak dan sertifikat hak yang mengandung cacat administrasi sudah diatur cukup sebelum ini pada Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 tahun 2011, sedangkan sebaliknya hak milik No. 158 tersebut nyata-nyata mengandung cacat administrasi dalam penerbitannya karena terdapat kesalahan subyek penerima hak.
Akan tetapi ternyata baik Kakanwil Kementerian ATR/BPN maupun Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon nampaknya tidak peduli terhadap apa yang direkomendasikan Ombudsman RI walau pun nyata-nyata dalam peristiwa ini telah terjadi apa yang disebut dengan istilah “maladministrasi”.
Padahal, menurut ketentuan pasal 38 ayat (1) UU Ombudsman No. 37 tahun 2008, Terlapor mau pun atasan Terlapor dibebani kewajiban untuk melaksanakan apa pun Rekomendasi yang diterbitkan oleh Ombudsman.
Menurutnya, bila Ombudsman membiarkan sikap acuh tak acuh semacam ini terus berlangsung dan tidak segera mengambil langkah yang tegas, lambat laun kebiasaan ini malah akan memudarkan marwah kelembagaannya sendiri sebagai sebuah lembaga pelat merah.
Dia mengaku khawatir, sebab lama kelamaan bisa saja tidak ada lagi sesuatu lembaga atau pejabat pelayanan publik yang mau mematuhi rekomendasinya, dan pada akhirnya kehadirannya hanya sekedar semacam pajangan dalam jaringan sistem penyelenggaraan negara, begitu pula segala macam kewenangan institusionalnya yang diberikan oleh undang-undang hanya tinggal laksana fatamorgana.
Oleh karena itu, demi pemulihan sistem pelayanan publik di daerah ini sekaligus menjaga marwah kelembagaan Ombusman RI di mata masyarakat, Attamimi, mendesak Ombudsman Maluku agar segera mengambil suatu tindakan yang tegas dengan menerbitkan rekomendasi pengenaan Sangsi atas kelalaian Kakanwil ATR/BPN Maluku dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon.
Bila dipandang tidak cukup dengan menerapkan sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 39 UU Ombudsman, tandasya lagi, tidak perlu ragu menerapkan ketentuan sangsi sebagaimana diatur dalam pasal 54 UU Pelayanan Publik No. 25 tahun 1999. (AT008)