Ambontoday.com, Ambon.- Menyusul laporan pengaduan mengenai dugaan tindak pidana sumpah palsu oleh Alexius Anaktototy, mantan Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah) Kota Ambon, kini gilirannya PT Maluku Membangun kembali lagi melaporkan Kakanwil Agraria & Tata Ruang/BPN Provinsi Maluku bersama Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon.
Serupa dengan laporan pengaduannya yang terdahulu, laporan kali ini dialamatkan kepada Kapolres P. Ambon & P.P. Lease di Perigi Lima Ambon dan di tandatangani oleh Direktur PT Maluku Membangun, Lutfi Attamimi.
Bedanya, kali ini kedua petinggi instansi Agraria/BPN di daerah ini dipolisikan berdasarkan dugaan tindak pidana penggelapan hak atas tanah.
Kabar mengenai laporan pengaduan terhadap ke-2 petinggi instansi Agraria/Pertanahan di Maluku dan Kota Ambon ini dibenarkan Direktur PT Maluku Membangun, Lutfi Attamimi, saat ditemui di ruang kantornya Sabtu (21/4).
Kepada wartawan, Attamimi lebih dahulu memperlihatkan arsip surat laporan pengaduannya No. 03/PT.MM/IV/2018 tanggal 16 April 2018 sekaligus dengan tanda bukti terima surat yang telah di tandatangani oleh masing-masing instansi yang dituju.
“Suratnya itu ditujukan kepada Kapolres P. Ambon & P.P. Lease dengan tembusan antara lain kepada Kapolda Maluku dan Kapolsek Sirimau, tidak kecuali ke-2 Terlapor Kakanwil ATR/BPN dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon.
Pengaduan yang yang dilayangkan pihak PT Maluku Membangun substansinya adalah karena ke-2 petinggi instansi Agraria ini diduga telah melakukan tindak pidana penggelapan hak atas tanah pada ke-3 persil bekas Eigendom Verponding No. 986 dan No. 987,” beber Attamimi.
Dugaan penggelapan hak ini menurut Attamimi, dalam suratnya itu adalah menguasai ke-2 persil ex Eigendom Verponding tersebut kemudian memberikan hak milik dalam kapling-kapling berukuran tertentu kepada berbagai kalangan dengan dalil seakan-akan tanah negara hasil likwidasi tanah partikulir berdasarkan UU No. 1 tahun 1958 yang dalam pelaksaannya diatur dengan PP No. 18 tahun 1958.
Dikatakan, berdasarkan bukti-bukti otentik yang ada pada PT Maluku Membangun, ke-3 persil ex Eigendom Verponding Nomor. 986, 987 dan 988 adalah milik PT Maluku Membangun.
“Bukti-bukti tersebut antara lain Grosse Acta van Eigendom dan Meebrief atau Surat Ukur ke-3 persil tanah. Malah sejak tahun 1962 Kepala Inspeksi Agraria Maluku sendiri menerangkan ke-3 persil tanah ini sudah didaftarkan sesuai UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 dan bahkan konversi itu ditegaskan kembali oleh Dirjen Agraria Kementerian Dalam Negeri RI pada tahun 1979.
Sementara itu, khusus tentang persil ex Eigendom Verponding No. 986 Kakanwil ATR/BPN mau pun Kepala Kantor Pertanahan Kota Ambon selama ini tidak pernah bisa mengajukan sesuatu bukti yang dapat membuktikannya sebagai tanah negara. Ketidak mampuan dalam pembuktian ini terungkap dari putusan PN Ambon Nomor 99/Pdt.G/1997/PN.AB tgl 25 April 1998, dan terakhir dari surat Ombudsman RI Perwakilan Maluku No. 0127/SRT/ORI-AMB/IX/2015 tgl 6 Oktober 2015,” jelas Lutfi.
Hal ini menurutnya, bukan berarti arsip arsip pertanahan hilang atau musnah gara-gara kerusuhan Kota Ambon tahun 1999 yang lalu sebagaimana sering didalilkan selama ini, melainkan sesungguhnya sudah sejak lama bukti-bukti itu tidak ada padanya.
“Logika hukumnya, kalau persil-persil ex Eigendom Verponding ini benar tanah negara hasil likwidasi dari UU No. 1 tahun 1958, maka berdasarkan PP No. 18 tahun 1958 mestinya Grosse Acta mau pun Meetbrief ada pada pejabat-pejabat instansi Agraria di daerah ini terutama Kakanwil ATR/BPN.
Sebab pasal 3 PP No. 18 tahun 1965 menentukan pemilik wajib menyerahkan buku-buku, peta-peta dan surat-surat tanahnya masing-masing, dan bahkan dalam pasal 12 ditentukan sanksi pidana atas pelanggarannya,” paparnya.
Setelah mengemukakan aturan-aturan ini, sambil menerawang Attamimi mengatakan, semua orang tahu betapa angkernya rezim penguasa pada zaman itu, siapa pun di antara pemilik tanah eigendom tidak mungkin berani melawan apabila tanah miliknya ditetapkan sebagai obyek likwidasi dan pemiliknya pun tentu tidak akan berani menolak menyerahkan bukti-bukti surat.
Apalagi dalam PP No. 18 tahun 1958 itu juga secara tegas diatur sanksi pidana bagi setiap orang pemilik tanah eigendom yang menghalang-halangi jalannya proses likwidasi atau penghapusan tanah-tanah partikulir .
Namun ternyata, tambah Attamimi, Grosse Acta mau pun Meebrief atau Surat Ukur ternyata tetap berada dalam tangan ahli waris pemilik Asal hingga kemudian diserahkan pada saat pemberian hibah akhir tahun 2009 lalu kepada PT Maluku Membangun bersamaan dengan bukti-bukti lainnya termasuk Surat Keterangan tentang Pendaftaran ke-3 persil tanah itu.
Dengan telah didaftarkannya ke-3 persil tanah ex Eigendom Verponding ini, tandas Attamimi, berarti telah memenuhi syarat konversi sebagaimana ditentukan dalam UU Pokok Agraria, lagi pula konversi itu kemudian mendapat penegasan pada tahun 1979 oleh Dirjen Agraria Kementerian Dalam Negeri, yaitu instansi yang pada saat itu membawahi bidang keagrariaan.
Oleh karena itu, terkait dengan surat laporan pengaduan yang dikirimkannya, dirinya berharap Kapolres P. Ambon & P.P. Lease tidak sekedar membaca dan mendisposisikan suratnya itu ke file atau arsip, melainkan seyogyanya dapat membuat disposisi yang berisi perintah kepada Penyidik Berwenang untuk melakukan penyidikan atas kasus ini dengan memanggil para Terlapor untuk diperiksa dan dimintai keterangan.
Menurutnya, jika kedua terlapor tersebut dipanggil oleh pihak Penyidik Kepolisian, kedua terlapor mesti diminta menunjukan atau mengajukan bukti otentik berupa Grosse Acta dan Meetbrief dari ke-3 persil ex Eigendom yang dilengkapi pula dengan Surat Keputusan Penegasan dari Menteri Agraria atas masing-masing persil tanah tersebut sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) UU No. 1 tahun 1958 kemudian ditegaskan lagi dalam pasal 2 ayat (1) PP No. 18 tahun 1958.
Sebaliknya dia menyatakan siap mengajukan bukti-bukti otentik yang ada pada PT Maluku Membangun, mulai dari Grosse Acta dan Meebrief sampai Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dan Surat Penegasan Konversi dari Dirjen Agraria. (AT008)