Ketika ombak Maluku membawa suara luka, dan gong tanah raja-raja berdentang menolak kunjungan yang tanpa makna
Namrole, Ambontoday.com —
Dari laut yang berkilau di bawah matahari timur, dari tanah yang disebut Bumi Raja-Raja, suara penolakan kembali menggema. Dentang gong dari Maluku menandai satu pesan tegas: Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Pembaharuan Indonesia (GMPRI) Kabupaten Buru Selatan, Akbar Latbual, menolak kedatangan Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, ke Maluku — dan khususnya ke Pulau Buru.
> “Kunjungan itu bukan membawa kesejukan, tapi menambah luka yang belum sembuh,” ujar Akbar Latbual, suaranya bergetar di antara riak laut Namrole yang tenang namun sarat amarah.
Baginya, kedatangan Wapres ke Maluku setelah pemotongan transfer pusat ke daerah sebesar Rp370 miliar, hanyalah ironi yang mengiris hati rakyat. Di tanah yang kaya hasil bumi dan laut, masyarakat justru menanggung beban kebijakan yang kering dari rasa keadilan.
> “Setelah pusat memotong dana untuk daerah, kini Wapres datang seolah tanpa beban. Ini bukan kunjungan rakyat — ini perjalanan yang menggores luka di Bumi Raja-Raja,” katanya.
Akbar menilai, kunjungan tersebut tak lebih dari seremoni kekuasaan, bukan langkah untuk menyentuh denyut kehidupan masyarakat Pulau Buru. Ia menyoroti agenda Wapres yang hanya berfokus pada proyek besar bernilai triliunan rupiah seperti pembangunan bendungan, tanpa menoleh pada kenyataan getir rakyat di pelosok.
> “Wapres menatap bendungan yang megah, tapi menutup mata terhadap jalan berlumpur di antara kabupaten dan desa. Ia berbicara tentang pembangunan, tapi lupa bahwa rakyat kami masih jauh dari kata merdeka,” ujarnya lantang.
Ketua GMPRI itu lalu menantang Wapres untuk menjejak tanah rakyat — bukan hanya pelataran proyek.
> “Datanglah ke jalan lintas yang rusak dari Batabual menuju Waetawa, ke jembatan yang hampir putus di perbatasan Buru Selatan, ke sekolah-sekolah yang berdiri di ujung harapan. Di sanalah wajah sejati negeri ini,” serunya.
Akbar menegaskan bahwa rakyat Buru tidak menolak kedatangan pemimpin, tapi menolak kepura-puraan pembangunan.
> “Kami hanya ingin kehadiran yang bermakna, bukan kunjungan yang menyakitkan. Jangan datang membawa janji, jika hati masih menutup mata pada penderitaan rakyat timur,” ucapnya tegas, seperti mantra yang keluar dari dada seorang anak negeri.
Dari pesisir Namrole, suara itu terus menjalar ke ombak Laut Banda — menyatu dengan desir angin yang membawa pesan dari tanah para raja. Gong Maluku berdentang sekali lagi, bukan untuk menyambut pejabat, tapi untuk mengingatkan:
bahwa keadilan bukan sekadar kata dalam pidato, melainkan hak yang harus sampai ke pulau-pulau kecil di ujung republik.
[Nar’Mar]