
Ketika Regulasi Tertidur di Jalan Suli: Komisi I DPRD Maluku Dinilai Lunak Terhadap Rindam
Ambon, Ambontoday.com – Di ruang rapat yang mestinya menjadi benteng hukum, justru terdengar nada lembut yang meninabobokan pelanggaran.
Komisi I DPRD Provinsi Maluku menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membahas polemik pemasangan speed bump atau polisi tidur di Desa Suli, Kabupaten Maluku Tengah, Jumat (24/10/2025),
Namun di luar gedung, dunia maya justru lebih gaduh. Masyarakat pengguna media sosial ramai memperbincangkan persoalan ini, menumpahkan kekecewaan terhadap langkah yang dinilai menyalahi aturan namun seolah dibiarkan begitu saja.
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi I DPRD Maluku, Solichin Buton, dihadiri oleh perwakilan Rindam 15 Pattimura, Dinas Perhubungan Provinsi Maluku, Balai Jalan Nasional Maluku, dan Dirlantas Polda Maluku, serta anggota Komisi I lainnya.
Semuanya duduk berhati-hati, seolah hukum sedang meniti di atas jembatan halus antara regulasi dan rasa hormat pada institusi militer.
“Kita hadir di sini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tetapi untuk mencari jalan keluar terbaik agar keselamatan pengguna jalan tetap terjamin,” ujar Solichin Buton membuka rapat.
Namun di dunia maya, pernyataan itu dianggap terlalu lunak.
Masyarakat pengguna media sosial menilai Komisi I DPRD Maluku terkesan membela Rindam 15 Pattimura, bukannya menegakkan aturan.
Banyak warganet mempertanyakan mengapa pelanggaran terhadap regulasi nasional bisa ditanggapi dengan nada yang begitu hati-hati.
Komentar-komentar bernada kecewa bermunculan di berbagai platform, menggambarkan keresahan warga Suli dan sekitarnya.
“Kalau rakyat kecil yang salah, cepat ditindak. Tapi kalau institusi besar yang melanggar, tiba-tiba semua jadi alasan demi keselamatan,” tulis seorang pengguna media sosial.
Sementara itu, Balai Jalan Nasional Maluku, Pegy Hehanussa, menegaskan bahwa pemasangan alat pembatas kecepatan di jalan nasional tidak boleh dilakukan sepihak.
“Izin hanya bisa dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Bina Marga. Aturannya jelas,” tegasnya.
Dirlantas Polda Maluku pun menyampaikan hal senada.
“Kami memahami niat baik menjaga keselamatan, tetapi semua tindakan harus dikaji secara teknis agar tidak menimbulkan risiko baru,” ujarnya.
Ironisnya, hingga kini tidak ada laporan kecelakaan di depan Rindam Suli — fakta yang justru memperkuat dugaan bahwa langkah pemasangan dilakukan tanpa dasar kajian nyata.
Namun di ruang rapat, sebagian anggota Komisi I justru memilih nada kompromi.
Anos menilai polisi tidur tak perlu dihapus, hanya disesuaikan ukurannya.
Wahid Laitupa bahkan berpendapat, “Jika pelanggaran kecil dilakukan demi nyawa, perlu ada kebijakan bijak.”
Bagi sebagian warga, kalimat-kalimat seperti ini terdengar seperti pembenaran halus bagi pelanggaran yang nyata.
Nada tegas hanya datang dari Hasim Renyaan, yang meminta agar Dishub dan Balai Jalan turun langsung ke lapangan.
“Kita tidak bisa hanya membahas di ruang rapat. Harus ada data dan tinjauan nyata di lokasi,” ujarnya.
Dari pihak militer, Rindam 15 Pattimura menyebut langkah mereka dilakukan demi keselamatan anak-anak sekolah yang menyeberang di sekitar kompleks militer.
“Kami tidak bermaksud melanggar aturan, semata-mata karena ingin menjaga keselamatan. Tapi kami siap menyesuaikan keputusan pemerintah,” ucap perwakilan Rindam.
Rapat kemudian menghasilkan keputusan kompromi: pemasangan polisi tidur di Suli akan ditinjau ulang, dan Rindam bersedia melepasnya setelah Balai Jalan Nasional serta BPTD memasang rambu peringatan, lampu hati-hati, dan pos pantau lalu lintas.
Namun di dunia maya, gelombang komentar tak juga surut.
Masyarakat pengguna media sosial masih ramai menyoroti sikap lunak Komisi I DPRD Maluku, bahkan menyebut lembaga itu gagal menunjukkan ketegasan dalam menegakkan aturan.
Banyak warga menyayangkan bahwa ketika hukum seharusnya menjadi pemandu, justru kompromi yang dipilih.
Langit Ambon sore itu diguyur hujan hingga malam, tapi di ruang publik maya, gelombang kritik terus berdebur.
Bagi masyarakat yang setiap hari melintasi jalan itu, persoalan ini bukan sekadar soal polisi tidur — melainkan tentang bagaimana hukum bisa benar-benar terjaga, bahkan ketika dihadapkan pada kekuasaan berseragam.
[Nar’Mar]
.














