
“250” Menggema di Gedung Karang Panjang: Misteri Sandi OKP, Suara Mahasiswa Menggedor DPRD Maluku
Ambontoday.com – Ambon — Senin, 1 September 2025, udara di ketinggian Karang Panjang dipenuhi suara orasi. Gedung DPRD Provinsi Maluku, yang berdiri bersisian dengan monumen pahlawan perempuan Christina Martha Tiahahu, menjadi saksi ketika mahasiswa dan pemuda menyerbu dengan lantang, menyuarakan keresahan rakyat.
Dari ketinggian gedung wakil rakyat itu, mata bisa menatap jauh ke bawah: Teluk Ambon yang membentang indah, biru dan berkilau diterpa cahaya senja. Kota Ambon pun tampak manis, berdiri gagah di antara bukit dan laut. Sebuah kota yang tak hanya dikenal dengan panorama, tetapi juga dengan julukannya sebagai “Ambon Kota Musik” — tempat harmoni tercipta, meski kadang riuh politik merobek nadanya.
Dua kelompok berbeda rute, namun satu tujuan. Kelompok pertama yang berkumpul di bawah Jembatan Merah Putih (JMP) mendominasi lapangan. Orasi mereka tajam, menyayat udara, menuntut agar DPRD tidak lagi sekadar menjadi gedung megah di atas bukit, tetapi benar-benar menjadi rumah rakyat.
Kelompok kedua yang bergerak dari pertigaan Kebun Cengkeh, meski tak sepadat dan segarang orasinya, tetap hadir menegaskan hak demokrasi: suara mahasiswa adalah suara nurani rakyat.
Di tengah riuh itu, muncul satu istilah yang mengundang tanda tanya: “250.” Sebuah kata yang bergaung di antara orasi, namun tidak semua orang paham artinya. Istilah itu hanya hidup di kalangan OKP di Kota Ambon, menjadi semacam sandi eksklusif yang hanya dimengerti mereka yang berada di lingkaran pergerakan. Publik mungkin bertanya-tanya, apa makna di balik angka itu? Sandi perjuangan, identitas kelompok, atau sekadar simbol perlawanan? Misteri itu tetap terkunci rapat di kalangan mereka.
Meski datang dengan wajah berbeda, kedua kelompok tidak bertabrakan. Tidak ada bentrok, tidak ada chaos. Justru ada kesadaran bersama bahwa tujuan mereka sama: menggedor DPRD, memaksa para wakil rakyat untuk mendengar. Karena apa arti sebuah gedung megah di Karang Panjang bila di dalamnya para penghuni lebih sibuk dengan kenyamanan kursi empuk daripada jeritan rakyat di bawah sana?
Aksi mahasiswa itu dikawal ketat oleh aparat kepolisian dan TNI. Barisan aparat berdiri tegak, menjadi pagar besi yang memastikan suara demokrasi tetap mengalir tanpa noda pertikaian.
Di bawah bayang-bayang Christina Martha Tiahahu, semangat mahasiswa itu seakan menyambung nyala api perlawanan. Dahulu, Tiahahu melawan kolonial dengan keberanian yang tak gentar. Kini, mahasiswa mengusung semangat yang sama — melawan kebisuan, melawan kealpaan wakil rakyat, melawan ketidakpedulian yang makin terasa nyata.
Dan istilah “250” yang hari ini menggema di halaman DPRD Maluku, mungkin hanyalah angka bagi sebagian orang. Tetapi di kalangan OKP Ambon, ia adalah rahasia yang menyimpan daya. Siapa tahu, dari angka misterius itu lahirlah babak baru dalam sejarah gerakan mahasiswa di Maluku.
[Nar’Mar]
.





















