
Oleh; Anders Luturyali
———————————————————-
Matinya kepakaran dalam ruang publik menandakan adanya dominasi natsu, seks dan makan atau dalam terminologi Plato disebut Ephitumia. Pikiran yang diajukan sebagai bentuk tanggapan akan sebuah tuntutan yang diajukan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kebijakan ditafsir dengan menggunakan perasaan (rasa) oleh pejabat publik yang memiliki gelar akademik paralel.
Kepala Bagian Hukum pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar menyampaikan perasaannya dalam bentuk kritik di ruang publik untuk membela kaum yang dinyatakan secara fiksi dalam tulisan yang berjudul: “Negeri yang Digerogoti oleh Sepatu Kotor: Dominasi Kelompok Jalan Pagi dan Jalan Sore di Tanimbar diterbitkan dalam rubrik Opini. 15 Juni 2025 pada media Kapata News. Karya fiksi ini memiliki makna imajinatif yang dapat dikaji menggunakan metode hermeneutika. Sayangnya pejabat publik tersebut menerabas dengan pendekatan rasa untuk berusaha mendiskreditkan opini tersebut dengan coretan tangan pada media sosial. Tulisannya seperti ini:
Baru-baru ini ada sekelompok orang yang berteriak di jalanan tentang eksistensi kami tim jalan pagi yang kami namai JOGGER’S SEJAHTERA, dikomandoi oleh Pak Agus Thiodorus. Mereka membangun narasi bukan hanya di jalanan, tapi di media media sosial, seolah-olah kami adalah teroris yg terorganisir dan mengatur semua hal yang ada di kabupaten ini. Menurut mereka, kami adalah otak dibalik semua pengambilan keputusan penting di daerah ini…bahkan secangkir kopi pahit kami mampu membunuh para ASN, menindas kepentingan rakyat kecil.. Nah. wah.. wah.. ternyata agenda jalan pagi kami meneror rasa percaya diri dan mengusik kenyamanan para aktivis dan politisi-politisi gagal ini. Padahal, mereka lupa bahwa tim ini sudah jauh-jauh hari melakukan aktivitas olahraga jalan pagi sejak Pak Indey menjabat Pj. Bupati KKT, sehingga jauh dari hiruk pikuk konstalasi politik pilkada Tanimbar. Kami hanya melakukan olahraga jalan pagi yang sederhana, tidak mengeluarkan biaya yang banyak, yg penting sehat. Kami menyadari bahwa ditengah kesibukan kami bekerja, harus juga dibarengi dengan olahraga sehingga memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh dan jiwa, supaya kerja-kerja kami lebih fokus, terukur dan memberikan hasil yg baik, tentu untuk kemajuan negeri ini.
Saya heran, dalam momentum jelang 100 hari kerja Bupati dan Wakil Bupati Tanimbar, para aktivis dan politisi-politisi gagal ini sengaja memainkan isu-isu agama dalam pengelolaan birokrasi hari ini, yg menurut saya sangat konyol. Kenapa? Karena membawa entitas agama dalam ruang publik justru menunjukkan kebodohan mereka. Belum lagi saya mendengar, bhw ada penumpang gelap yg coba bermain di air keruh.. hehehe, kasihan saja Bro, jangan bersembunyi dibalik topeng agama, tunjukan kualitas kerja yg baik bersaing sehat, dan jangan lupa berdoa, niscaya anda bisa naik kelas.
Mari kita kaji secara benar pikiran Pejabat Publik tersebut. Penulis perlu memberikan disclaimer di awal bahwa setelah membaca narasi tersebut, ada ekspresi heran dan skeptis terhadap pikiran-pikiran yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang memiliki gelar akademik setumpuk. Maksud saya agar pembaca tidak gampang terpengaruh dengan pikiran-pikiran penuh kepentingan belaka.
1. Tudingan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Pemuda Katolik (PK) sebagai Aktivis dan Politisi Gagal
Pernyataan ini dikeluarkan setelah PMKRI dan PK melaksanakan demonstrasi pada 18 Juni 2025. Demonstrasi dilakukan untuk mengkritisi sekaligus mempertanyakan capaian 100 hari kerja bupati dan wakil bupati. Demokrasi Indonesia memberikan ruang kepada masyarakat baik secara individu maupun kelompok untuk menyampaikan pikirannya di ruang publik.
Demokrasi memberikan ruang, hanya secara arogan, Pejabat Publik mengkritisi melalui pernyataan aktivis dan politisi gagal. Secara historis. PMKRI resmi beraktivitas sejak 25 Mei 1947. Sedangkan PK adalah 15 November 1945. Kedua organisasi ini resmi dan diakui oleh negara. Namun secara lantang dinilai sebagai organisasi gagal. Pernyataan ini patut dievaluasi karena demonstrasi yang diberi izin oleh Polisi Republik Indonesia atas nama organisasi bukan kepada perorangan.
Pernyataan ini mestinya menggunakan penalaran yang logis. Apalagi, yang bersangkutan memiliki background akademik hukum dan sebagai seorang pejabat publik. Eksistensinya sebagai seorang pejabat publik mengundang pertanyaan kritis, yakni apakah dia memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai humas pemerintah daerah? Apa motivasi dari pernyataan-pernyataan yang bersangkutan? Atau apakah yang bersangkutan memberikan dukungan penuh kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah pada saat kontestasi Pilkada?
Bagi penulis, ini model pembusukan kepada PMKRI dan PK yang dilakukan oleh pejabat publik dengan menggunakan penalaran yang keliru. Pejabat publik tersebut melokalisir demonstran dalam majas pras prototo. Kesimpulannya sudah ada setelah mengetahui individu-individu yang melakukan aksi. Penulis menduga, ada motivasi terselubung yang sengaja dimainkan untuk melakukan pengaruh publik agar masyarakat tidak percaya kepada kedua organisasi yang berlebel KATOLIK.
2. 100 Hari Kerja
Pemerintah Daerah dalam mengeluarkan progres pembangunan melalui tahapan monitoring. evaluasi dan pelaporan. Untuk itu, kepala daerah dan wakil kepala daerah juga tidak tergesa-gesa dalam menyampaikan pendapatnya terhadap kinerjanya. Prinsipnya, dari aspek manajemen pemerintahan, kepala daerah dan wakil kepala daerah sangat berhati-hati untuk memberikan penjelasan tanpa didahului dengan monitoring, evaluasi dan pelaporan. Kepala daerah dan wakil kepala daerah saja belum tahu apakah hasil mengalami progres atau regres, pejabat publik tersebut sudah mengambil alih posisi Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika untuk membicarakan program 100 hari.
Bagi penulis, pengaburan sistem pada birokrasi akibat dari arogansi pejabat-pejabat publik secara siometik telah memberikan pertanda buruk yang segera didisiplinkan. Bahwa, etika birokrasi tidak mengijinkan pejabat untuk memberikan pendapat terkait kinerja birokrasi tanpa ada izin dari kepada daerah dan wakil kepala daerah. Penulis berpendapat bahwa. cara kerja seperti ini berpotensi laten yang harus diperhatikan secara bijaksana. Bahaya laten sangat berpotensi melahirkan masalah karena metode pembusukannya berasal dari dalam birokrasi sendiri.
3. Isu Agama
PMKRI dan PK adalah dua organisasi sosial yang berlatar blakang Ajaran Sosial Gereja Katolik. Keikutsertaannya dalam pembangunan tidak lagi diragukan. Sebagai organisasi yang telah diakui oleh negara, dalam melaksanakan keseluruhan agendanya selalu mengedepankan Ajaran Sosial Gereja demi tercapainya “Bonum Commune”, Kritik yang disampaikan di ruang Publik tidak bertujuan untuk melakukan pemaksulan dan makar. Tujuannya agar kepala daerah dan wakil kepala daerah melakukan evaluasi guna menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan publik.
Pernyataan yang disampaikan oleh seorang pejabat publik terhadap kedua organisasi ini berpotensi melahirkan isu agama. Bagi penulis, mestinya seorang pejabat publik, perlu berhati-hati dalam berargumen pada dunia maya. Sebelum tulisan diposting, perlu menganalisa dampaknya agar tidak melahirkan konflik. Rene Descartes, seorang filsuf rasionalisme berpendapat bahwa akal adalah sumber utama pengtahuan yang dapat dipercaya. Penggunaan rasa yang bertujuan mengamankan diri sebagai pejabat publik akan mencederai rasionalitas yang berdampak pada demagogi.
4. Rasa vs Rasio
Heroisme pejabat publik dalam melakukan pembelaan terhadap JOGGER’S SEJAHTERA sebagai kelompok olahraga melebar. Mestinya tulisan dalam bentuk opini dengan judul “Negeri yang Digerogoti oleh Sepatu Kotor: Dominasi Kelompok Jalan Pagi dan Jalan Sore ditanggapi juga dalam bentuk opini yang dipublikasikan pada media elektronik. Mestinya seorang pejabat publik tampil sebagai pedagog yang mengedukasi rakyat untuk gemar berolahraga.
Rubrik opini yang berjudul Negeri yang Digerogoti oleh Sepatu Kotor: Dominasi Kelompok Jalan Pagi dan Jalan Sore, adalah karya fiksi yang sama sekali tidak menyebutkan orang atau kelompok orang, namun kemudian pejabat publik tersebut tampil untuk mengungkapkan kelompok orang yang menggunakan nama JOGGER’S SEJAHTERA. Bila kita menelisik lebih dalam pernyataan tersebut, maka mestinya dia (pejabat publik) menggunakan pendekatan hermeneutuk Friedrich Daniel Ernst Schleieemacher asal Polandia untuk mengatasi konflik pembaca. Pejabat publik perlu mengatasi kesenjangan ruang dan waktu antara teks. penulis, dan pembaca untuk menemukan maksud asli penulis teks itu tanpa prasangka pembacanya. Artinya, terhadap tulisan fiksi tidak perlu ditanggapi secara serampangan tanpa melalui kajian yang tepat.
Rene Descartes, terkenal dengan pikirannya Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya adal seharusnya melandasi pegiat media sosial apalagi yang memiliki gelar akademik dan menduduki jabatan publik. Descartes mengemukakan cara berpikir rasional melalui metode penalaran yang logis dan rasional. Mestinya, pejabat publik memberikan penjelasan tentang kelompoknya. Perlu menghindar dari kesimpulan-kesimpulan mengenai PMKRI, PK, 100 hari kerja kepala daerah dan wakil kepala daerah dan isu agama agar tidak menimbulkan kekisruan penafsiran. Dalam tulisan Prof. Dr. Frans Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul “Aku Klik maka Aku Ada sekaligus sebagai naskah dalam Pidato Ilmiah dalam Pengukuhan
Guru Besar. Hardiman menyebutkan bahwa dalam era revolusi digital keberadaan seseorang seringkali ditentukan atau terhubung erat dengan aktivitas “mengklik” atau berinteraksi di dunia maya. Ada kencenderungan orang untuk lebih banyak mengklik tanpa menyaring kebenaran berita. Orang hanya mengungkapkan tulisan entah itu kecakapan sendiri atau copy paste untuk menunjukkan bahwa dia ada dan dia mengerti tanpa memahami histori, konteks dan teks yang disampaikan. Ada orang yang ingin untuk mengamankan posisinya dengan cara melakukan klarifikasi kepada orang lain tanpa memahami secara keseluruhan konteks dan inilah tipikal penjilat sejati.
Epilog
Kepala dan wakil kepala daerah perlu tegas kepada Aparatur Sipil Negara untuk tidak berpendapat di ruang publik, media sosial, dan media massa (baik cetak maupun elektronik) terkait kinerja birokrasi tanpa izin. Hal ini perlu dilakukan sebagai bentuk pendisiplinan kepada ASN. Di sisi lain, bagi yang memiliki gelar akademik mestinya berpikir dulu baru menulis dan berkata. Jangan melakukan klarifikasi yang memalukan diri sendiri apalagi sebagai pejabat publik. Rasionalitas akan mengedukasi masyarakat untuk tidak menebar isu agama, tidak menebar kejelekan tentang organisasi sosial kemasyarakatan lainnya dan tidak memposisikan diri sebagai demagog yang mencederai nilai-nilai demokrasi. Kita perlu merawat toleransi umat beragama secara benar demi masa depan daerah yang bertajuk duan lalat ini guna tercapainya Tanimbar Maju (Mandiri, Adil, Berkelanjutan dan Unggul)

















